KISAH DIBALIK AIR MATA

Published on by Harry Riko Andhiko

KISAH DIBALIK AIR MATA


Telepon dimeja kerja sebelahku berdering, mengagetkan ku disaat aku serius larut dalam kerjaanku. Pemilik meja itu lagi tidak ada ditempat, otomatis aku yang harus menjawab telpon tersebut. Dengan gerakan sedikit malas seolah enggan untuk beranjak, aku melangkah menuju bunyi yang berdering tersebut.

Tanganku meraih gagang telpon yang berdering tadi, aku angkat dan mulai menyapa :

 "Hallo...." ucapku.
Terdengar suara sedikit serak seperti menangis dibalik telpon tadi menjawab:

"uda, ini hpnya". Ujarnya

"Adhe nanggis?" Tanyaku padanya.

Belum sempat dia menjawab, aku buru buru menutup gagang telpon tersebut dan bergegas lari kebawah. Bunyi telapak sandalku terdengar jelas cepat menuruni tangga , terlihat buru buru sambil berlari. Aku langsung menuju keruangannya yang biasa aku sapa dengan panggilan adhe. Aku terhenti ditangga depan pintunya,

"Adhe nanggis?. Maafkan aku adhe kalo tulisan itu membuat adhe menangis"

"Bagus cerpennya uda ..he..he" jawabnya sembari air mata jatuh dipipinya yang indah.

Aku melepas sandalku dan masuk keruangan itu. Pintu kubiarkan terbuka lebar. Aku berdiri didepan kulkasnya dan berdiri sambil bersandar didinding  ruangan itu yang terbuat dari Gypsum.

"Maafkan aku adhe.."  ucapku padanya.

"Gak papa uda" jawabnya dengan nada lirih.

"Aku dulu pernah mengalami hampir frustasi uda" ucapnya memulai cerita.

"Uda jangan cerita kesiapa siapa ya uda! Uda janji sama aku!" desaknya padaku

"Iya adhe.." jawabku

Matanya mulai menerawang seolah pergi kemasa puluh tahun yang lalu. Air matanya yang bening mulai menetes dipipinya yang bersih. Suaranya mulai bergerar

"Dulu aku sempat hampir mejual diri uda, karena kebutuhan ekonomi" ujarnya padaku

Aku terkejut mendengarnya, tapi aku berusaha untuk tenang, membiarkan dia menyelesaikan ceritanya

"Aku disaat kuliah, dikampus melihat teman2ku banyak uang, aku tanya kemereka, kok kalian banyak uang. Aku ikut dong kerja." dia bercerita

"Kamu kalo mau, ikut aja sama kita ke  Atrium senen. Saat itu aku pasrah uda, tidak ada pilihan karena aku butuh untuk membiayai adik adikku dan oma uda" katanya sembari menyeka air matanya dengan ujung lengan jaketnya yang berwarna coklat.

"Disaat dalam perjalanan menuju Atrium Senen, teman gereja ku menelpon aku menawari pekerjaan. Kebetulan dia butuh orang dan dia ingat aku. Itulah kerjaan yang dimetro itu. Sampai Atrium senen aku langsung pulang. Tuhan menyelamatkan ku" ujarnya melanjutkan ceritanya tadi.

Aku terdiam dan terpaku menatapnya  tampa sadar, pipiku basah oleh air mata. Aku lihat wajahnya yang pilu dihiasi air mata, sesekali ia  mengusap air matanya dengan ujung lengan jaketnya. Terlihat wajahnya yang tulus dan ikhlas,  berjuang demi keluarga. Rela berkorban untuk keluarga yang sangat dicintai.

Aku termenung, tertegun. Ingin rasa hati untuk memeluknya dengan erat sembari mencium ubun ubun kepalanya,  (seperti yang acap kulakukan terhadap dua adik perempuanku) untuk meredakan rasa pilunya tadi, serta melampiaskan emosiku dari mendengar kisahnya tadi. Tapi itu tidak mungkin

Aku tak dapat berkata kata mendengar kisah itu. Dulu aku berpikir bahwa cerita perjuangan hidup seperti itu hanya ada di sinetron dan film, tapi ternyata ada dalam kehidupan sahabatku sendiri yang sudah kuanggap dan rasa seperti adiikku sendiri.

Dulu aku hanya tau perjuangan seorang kakak untuk adiknya dalam sinetron Keluarga Cemara. Seorang kakak yang bernama teh euis menggendong adiknya sambil berlari berputar seolah naik komidi putar, hanya untuk  membahagiakan adiknya.

Perjuangan hidup, aku melihat dalam dirinya adhe, adikku. Dialah mutiara yang tersembunyi dibalik lumut yang menutupi karangnya. Dialah yang punya hati, hanya dapat dilihat dengan mata hati........


Doa terbaik dari kami untuk mu, adhe dan Erik......

Jtbng, 25 September 2020
Ttd
Riko







 

To be informed of the latest articles, subscribe:
Comment on this post